POLITIK HUKUM DALAM UUD 1945
PASCA AMANDEMEN
Abstrac
Legal policy changes in the life of nation and state has
happened after the amendment to UUD 1945. Legal policy changes do not only happen
in the polical system, but also in the legal system and economic system. In the
political system has been a change from an authoritarian political system into
a democratic political system. In the legal system has been a change in the
field of legislation power. The legislation power that was early on the
executive has shifted to legislative. In the economic system, from the the
socialist economic system has been a change into neo-socialist economic system.
Keynote :
Amandment of UUD 1945, legal policy, political system, legal system, social and
economic system.
PENDAHULUAN
UUD 1945 merupakan konstitusi Negara Republik Indonesia
yang telah di sahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam sidang Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Akan tetapi saat itu Soekarno
menyatakan [1] :
Undang-Undang Dasar yang dibuat sekarang ini adalah Undang-Undang
Dasar Sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan : ini adalah Undang-Undang
dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih
tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat
yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna.
Sejak merdeka, Indonesia telah memberlakukan tiga macam
konstitusi dalam empat periode, yaitu periode pertama 18 Agustus 1945 sampai 27
Desember 1949 berlaku UUD 1945. Periode kedua 27 Desember 1949 sampai 17
Agustus 1950 berlaku UUD RIS. Periode ketiga 17 Agustus 1950
sampai 5 Juli 1959 berlaku UUD 1950 yang bersifat sementara. Dan periode
keempat 5 Juli 1959 sampai sekarang berlaku UUD 1945.[2]
Setelah kembali
kepada UUD 1945 sampai sekarang konstitusi Indonesia tidak lagi mengalami
pergantian. Akan tetapi hanya mengalami Amandemen sebanyak empat kali, yaitu Amndemen
yang pertama ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999. Amandemen kedua tangal 18
Agustus 2000 dan Amandemen ketiga 10 November 2001 serta Amandemen keempat pada
tanggal 10 Agustus 2002.
Menurut Mr. J.G. Steenbeek,
sebagaimana telah dikutip oleh Sri Soemantri dalam disertasinya yang telah
memberikan gambaran secara jelas apa yang seharusnya menjadi isi dari
konstitusi. Pada pokoknya konstitusi berisi tiga hal pokok, yaitu [3]
:
a. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi
manusia dan waga negaranya;
b. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu
negara yang bersifat fundamental;
c. Adanya pembagian dan pembatasan tugas dan
ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.
Atas dasar itulah, maka UUD
1945 Republik Indonesia yang dalam teori Stufenbau Hans Kelsen disebut sebagai groundnorm harus memberikan jaminan atas
hak asasi manusia dan adanya pembagiaan kekuasaan dalam struktur negara untuk
memberikan batasan atas kekuasaan tersebut agar tidak terjadi kekuasaan yang
absolut. Dengan demikian, nilai yang terkandung di dalam batang tubuh UUD 1945 mengandung
sistem politik hukum bangsa Indonesia untuk mewujudkan negara ideal yang
dicata-citakan. Politik hukum di dalam batang tubuh UUD 1945 tidak hanya
mengandung sistem politik, akan tetapi juga sistem ekonomi, sistem hukum dan
sosial.
Menurut T.M.Radhie, yang
dimaksud Politik hukum adalah suatu pernyataan kehendak penguasa negara
mengenai hukum yang berlaku di wilayah dan mengenai arah perkembangan hukum
yang dibangun[4]. Politik hukum
dalah legal policy yang telah atau
akan dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi[5] :
1.
Pembangunan hukum yang
berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat
sesuai dengan kebutuhan
2.
pelaksanaan ketentuan hukum
yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak
hukum.
UUD 1945 merupakan
sumber dari keseluruhan politik hukum nasional Indonesia. Tetapi dalam
prakteknya, hukum seringkali menjadi cermin dari kehendak pemegang kekuasaan
politik sehingga tidak sedikit orang memandang bahwa hukum sama dengan
kekuasaan. UUD 1945 mengakui hak-hak
(termasuk hak milik) dan
kebebasan individu sebagai hak asasi, tetapi sekaligus meletakkan kepentingan bersama diatas
kepentingan pribadi.
PEMBAHASAN
A.
Bentuk Negara Indonesia
Dalam teori
pemerintahan dikenal dua model bentuk negara (staatvormen), yaitu negara federal dan negara kesatuan. Untuk
membedakan kedua bentuk negara tersebut dapat dilihat dari kekuasaan legislatif
atau dari konsep kedaulatan maupun dari teori pemerintahan[6].
Jika menggunakan tolak ukur kekuasaan legislatif, maka dalam negara federal
kekuasaan legislatif terbagi antara badan legislatif federal dan badan-badan
legislatif dari negara-negara bagian. Sedangkan di dalam negara kesatuan,
kekuasaan legislatif yang tertinggi berada secara terpusat dalam satu badan
legislatif.[7] Apabila tolak ukurnya menggunakan konsep
kedaulatan. Dalam
negara federal, kedaulatan terbagi atas dua aspek, yaitu kedaulatan intern dan
kedaulatan ekstern. Kedaulatan intern tersebut terbagi antara negara-negara
bagian dan kedaulatan ekstern tetap berada pada pemerintah pusat federal (the central of federal power). Sedangkan
dalam negara kesatuan, kedaulatan intern dan ekstern berada pada pemerintah
pusat.[8]
Jika menggunakan
tolak ukur teori pemerintahan, dalam negara federal terbentuk melalui dua
tahap, yaitu tahap pengakuan atas keberadaan negara-negara dan/atau
wilayah-wilayah independen dan tahap kedua adalah adanya kesepakatan antar
mereka untuk membentuk negara federal. Sedangkan dalam negara kesatuan adalah
adanya klaim dari para pendiri negara atas seluruh wilayahnya sebagai bagian
dari satu negara saat mereka mendeklarasikan kemerdekaannya.[9]
Berdasarkan rumusan
dalam UUD 1945, Indonesia menerapkan bentuk negara kesatuan. Akan tetapi akibat
desakan politik dari kolonial Belanda - dalam periode 27 Desember 1949 sampai
17 Agustus 1950 – Indonesia pernah menerapkan bentuk Negara Federal. Bentuk
negara federal tersebut akhirnya berakhir setelah terjadi pertemuan antara Dewan
Perwakilan Rakyat dan Senat Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Agustus
1950 yang memutuskan untuk kembali kepada bentuk negara kesatuan.
Dasar negara
Indonesia yang berbentuk kesatuan ini sebagaimana tedapat di dalam Pasal 1 ayat
(1) UUD 1945, yaitu “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk
Republik”.
B.
Bentuk Pemerintahan Indonesia
Pada umumnya,
terdapat dua bentuk pemerintahan (forme
de government atau regeringsvorm),
yaitu bentuk pemerintahan Monarki dan bentuk pemerintahan Republik.
Pemerintahan Monarki (kerajaan, kesultanan dan kekaisaran), ialah negara yang dikepalai oleh seorang raja dan
bersifat turun temurun dan menjabat untuk seumur hidup. Bentuk pemerintaan monarki ini terdiri dari tiga
macam, yaitu monarki mutlak (absolut), monarki terbatas (konstitusional) dan
monarki parlementer.[10]
Monarki berasal dari bahasa
latin respublica (kepentingan umum),
jadi pemerintahan monarki adalah negara dengan pemerintahan rakyat yang
dikepali oleh seorang raja sebagai kepala negara yang dipilih dari dan oleh
rakyat untuk suatu masa jabatan tertentu. Pemerintahan Republik ini terdapat
tiga macam. Pertama, Republik dengan sistem pemerintahan rakyat secara langsung
(system referendum). Kedua, Republik
dengan sistem pemerintahan perwakilan rakyat (system parlementer). Dan ketiga, Republik dengan sistem pemisahan
kekuasaan (system presidensiil).[11]
Berdasarkan ketentuan dalam UUD 1945, Negara
Indonesia berbentuk Republik. Hal ini sebagaimana tedapat di dalam Pasal 1 ayat
(1) UUD 1945, yaitu :
“Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik”. Adapun sistem pemerintahannya menerapkan
sistem presidensiil. Hal ini sebagaimana tersirat di dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 17 ayat (2) UUD
1945, dimana presiden bertanggang jawab dalam penyelenggraan pemerintahan dan
dalam pengangkatan dan pemberhetian para menterinya.
C.
Konsepsi Negara Hukum Indonesia
Di dalam konsepsi negara hukum terdapat dua macam,
yaitu Konsep Rechtsstaat dan Konsep Rule of Law.
Menurut Sckeltema bahwa terdapat empat unsur utama
dalam negara hukum Rechtsstaat dan masing-masing unsur utama mempunyai
turunannya, yaitu sebagaimana dikemukaan oleh Azhary, yaitu :[12]
1. Adanya kepastian hukum :
a. Asas legalitas;
b. Undang-undang yang mengatur tindakan yang
berwenang sedemikian rupa, hingga warga dapat mengetahui apa yang dapat
diharapkan;
c. Undang-undang tidak boleh berlaku surut;
d. Hak asasi dijamin oleh undang-undang;
e. Pengadilan yang bebas dari pengaruh
kekuasaan.
2. Asas persamaan :
a. Tindakan yang berwenang diatur di dalam
undang-undang dalam arti materiil;
b. Adanya pemisahan kekuasaan.
3. Asas demokrasi :
a. Hak untuk memilih dan dipilih bagi warga
negara;
b. Peraturan untuk badan yang berwenang
ditetapkan oleh parlemen;
c. Parlemen mengawasi tindakan pemerintah.
4. Asas pemerintah untuk rakyat :
a. Hak asasi dengan undang-undang dasar;
b. Pemerintahan secara efektif dan efesien.
Sedangkan
Konsep The Rule of Law awalnya dikembangkan oleh Albert Venn Dicey
(Inggris). Dia mengemukakan tiga unsur utama The Rule of Law, yaitu)[13]
:
1.
Supremacy of law (supremasi hukum), yaitu bahwa negara diatur oleh hukum, seseorang
hanya dapat dihukum karena mlanggar hukum.
2.
Equality before the law (persamaan dihadapan hukum), yaitu semua warga Negara dalam
kapasitas sebagai pribadi maupun pejabat Negara tunduk kepada hukum yang sama
dan diadili oleh pengadilan yang sama.
3.
Constitution based on
individual right (Konstitusi yang didasarkan pada
hak-hak perorangan), yaitu bahwa konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan
konsekwensi dari hak-hak individual yang dirumuskan dan ditegaskan oleh
pengadilan dan parlemen hingga membatasi posisi Crown dan aparaturnya.
Philipus M. Hadjon
menjelaskan bahwa antara konsep rechtsstaat dan the rule of law
memang terdapat perbedaan. Konsep rechtsstaat lahir dari perjuangan
menentang absolutisme sehingga bersifat revolusioner yang bertumpu pada sistem hukum
kontinental yang disebut civil law system
atau modern roman law dengan karakteristik administratif. Sebaliknya
the rule of law berkembang secara evolusioner dan bertumpu pada common
law system dengan karakteristik
yudicial.[14]
Konsep Negara hukum
Indonesia berbeda dengan konsep rechtstaat
dan rule of law karena mempunyai
latarbelakang yang berbeda pula. Konsep negara hukum Indonesia adalah
sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1 ayat (3) Amandemen ketiga UUD 1945 yang
berbunyi : "Negara
Indonesia adalah negara hukum".
Istilah negara hukum dalam kepustakaan Indonesia
hampir selalu dipadankan dengan istilah-istilah asing antara lain rechts
staat, atat de droit, the state according to law, legal state, dan rule of law.
Notohamijdojo memadankan istilah negara hukum di dalam konstitusi Indonesia
dengan konsep rehtsstaat sebagaimana dalam tulisannya "...negara
hukum atau rechtsstaat".[15]
Di samping itu, Muhammad Yamin di dalam tulisannya menyebutkan bahwa
"...Republik Indonesia ialah negara hukum (rehtsstaat, government of
law)".[16]
Akan tetapi Ismail Suny memadankan negara hukum
dengan konsep rule of law seperti
terlihat dalam tulisannya "... pelaksanaan demokrasi terpimpin adalah
dimana kapastian hukum tidak terdapat dalam arti sepenuhnya di negeri kita, that
the rule of law absent in Indonesia, negara kita bukan negra hukum".[17]
Demikian pendapat yang dikemukakan oleh Sunaryani Hartono yang menyamakan
istilah negara hukum dengan konsep the rule of law sebgaimana nampak
dalam tulisannya "...supaya tercipta suatu negara hukum yang membawa
keadilan bagi seluruh rakyat yang bersangkutan, penegakan rule of law
itu harus dalam arti materiil".[18]
Berbeda dengan pendapat di atas, menurut Philipus
M. Hadjon yang lebih mengkritik terhadap para pakar hukum yang mempersamakan
istilah negara hukum dengan konsep rechtstaat dan konsep the rule of
law, dia menyatakan bahwa di dalam sebuah nama terkandung isi (nomen est
omen), negara hukum merupakan sebuah konsep tersendiri yang dipergunakan
oleh negara Indonesia, sehingga tidak bisa dipadankan dengan konsep rechtsstaat
atau konsep the rule of law yang telah mempunyai isi masing-masing yang
berbeda. Pendapat ini tentu dapat difahami mengingat saat ini terdapat 5 (lima)
konsep negara hukum yang dianggap berpengaruh dan telah mempunyai isi yang
berlainan, di antaranya pertama, rechtsstaat
yang merupakan konsp yang dikenal di Belanda. Kedua, the rule of law yang merupakan konsep yang di kenal di
negara-negara Anglo-Saxon seperti
Inggris, Amerika Serikat.[19]
Menurut Philipus M. Hadjon makna yang paling tepat dalam konsep Negara hukum
Indonesia adalah mengandung empat unsur, di antaranya[20] :
1. Keserasin hubungan antara pemerintah dan
rakyat;
2. Hubungan fungsional yang proporsional
antara kekuasaan-kekuasan negara;
3. Penyelesaian sengketa secara musyawarah,
sedang peradilan merupakan sarana terakhir; dan
4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Di samping itu, di dalam
konsep negara hukum Indonesia juga telah terdapat adanya jaminan atas
perlindungan hak asasi manusia. Hal ini sebagaimana telah dirumuskan di dalam BAB
XA Pasal 28A sampai Pasal 28J Amandemen kedua UUD 1945.
D. Struktur Negara Indonesia
Struktur negara ini merupakan
sistem ketatanegaraan yang diterapkan di Indonesia berdasarkan rumusan yang terdapat di dalam
UUD 1945 pasca Amandemen. Di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia ini
merupakan penerapan dari sistem Trias Politika yang bertujuan untuk memberikan
batasan atas kekuasaan yang diberikan terhadap suatu lembaga kenegaraan.
Lembaga kenegaraan tersebut terdiri dari lembaga eksekutif, lembaga legislatif
dan lembaga yudikatif.
Struktur negara Indonesia
adalah di antaranya sebagaimana terdapat di dalam Pasal 18 ayat (1) Amandemen
kedua UUD 1945, yaitu : “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kebupaten dan kota,
yang tiap-tiap pronvinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan
daerah, yang diatur dengan undang-undang”.
Berdasarkan rumusan Pasal
ini sangat jelas bahwa struktur negara Indonesia terdiri dari Pemerintahan
Pusat dan Pemerintahan Daerah. Di dalam Pemerintahan Daerah ini terdiri dari Pemerintahan
Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten atau Kota yang kesemuanya
mempunyai struktur pemerintahan sendiri.
1. Pemerintahan Pusat
Berdasarkan
teori Trias Politika dari Montesquieu, struktur pemerintahan terdiri tiga lembaga
kenegaraan, yaitu lembaga eksekutif, lembaga legislatif dan lembaga yudikatif. Di
dalam analisisnya Gabrial A. Almond, istilah eksekutif ini diganti dengan rule application function, lembaga
lagislatif diganti istilah rule making
function dan lembaga yudikatif diganti rule
adjudication function. Jika analisis tersebut dikaitkan dengan struktur
pemerintahan pusat, maka lembaga-lembaga negara pasca Amandemen UUD 1945 adalah
sebagaimana tabel ini [21]
:
Rule Application Function
|
Rule Making Function
|
Rule Adjudication Function
|
Presiden
|
DPR + Presiden
|
MA
|
TNI-POLRI *
|
MPR
|
MK
|
BI *
|
DPD
|
Komisi Yudisial ***
|
KPU *
|
BPK **
|
|
Keterangan :
* :
|
Merupakan lembaga negara yang
independen yang dijamin oleh UUD 1945, walaupun pada dasarnya lembaga-lembaga
tersebut menjalankan fungsi eksekutif.
|
** :
|
BPK tidak memegang fungsi legialatif. Namun, BPK memegang fungsi
pemeriksaan yang merupakan bagian dari fungsi pengawasan DPR dan DPD.
|
*** :
|
Pada dasarnya KY bukan lembaga
yudikatif. Namun lebih menyerupai “Dewan Kehormatan” MA yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945.
|
Di dalam
Amandemen UUD 1945, lembaga negara dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu
organ utama (main state’s organ) dan
organ bantu (auxiliary state’s organ).
Organ utama (main state’s organ)
adalah lembaga negara sebagai pelaksana utama dari ketiga kekuasaan negara, di
antaranya MPR, DPR, DPD, Presiden
dan Wakil Presiden, MA serta MK. Sedangkan organ bantu (auxiliary state’s organ) adalah lembaga negara untuk mengoptimalkan
pelaksanaan dari check and balances
antar lembaga negara tersebut, di antaranya BPK, KY, BI, KPU, TNI, dan POLRI.
Menurut Jimly Ashiddiqie, bahwa Indonesia pasca Amandemen menganut teori
pemisahan kekuasaan (separation of power),
dengan alasan lembaga negara yang ada sekarang ini tidak lagi mendapatkan
kewenangan melalui pembagian kekuasaan dari MPR sebagai pelaksana kedaulatan
rakyat sebagaimana paradigma yang dianut oleh UUD 1945 sebelum Amandemen. Kini lembaga-lembaga negara
tersebut mendapatkan kewenangannya secara langsung dari UUD 1945.
Konsepsi
UUD 1945 pasca amandemen juga telah berubah pada konsep check and balances antar semua lembaga negara. Karena bagaimanapun
juga penguasa sangat rentan untuk melakukan penyalahgunaan wewenang (abuse of powers) sebagaimana yang pernah
dikatakan oleh Lord Action, ”power tends
to corrupt, obsolutely power corrupts absolutely.
Penerapan
prinsip check and balances antara
lembaga negara di Indonesia ini didasarkan pada teori yang dikembanagkan oleh
James Madison yang bertumpu pada empat unsur pokok, di antaranya[22]
:
1. Pemisahan kekuasaan;
2. Kedaulatan dibagi antara pusat dan negara
bagian;
3. Hak asasi manusia; dan
4. Anggota kongres dan Presiden dipilih langsung oleh rakyat.
Sebagai konsewensinya, maka dalam Amandemen
UUD 1945 telah membawa perubahan terhadap pergeseran kekuasaan negara,
di antaranya :
- MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara yang melaksanakan kedaulatan rakyat, akan tetapi telah menjadi lembaga negara setara dengan lembaga negara lainnya (Pasal 1 ayat (2)).
- MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD sebagai representasi perwakilan kepentingan rakyat dan kepentingan daerah (Pasal 2 ayat (1)).
- Kekuasaan membentuk undang-undang tidak lagi berada pada Presiden, tetapi menjadi kekuasaan DPR (Pasal 20 ayat (1)).
- Proses impeachment Presiden dan atau Wakil Presiden tidak lagi menjadi wewenang penuh MPR, tetapi harus melalui ”Putusan MK” terlebih dahulu (Pasal Pasal 7B ayat (1)).
- Penarapan sistem pemerintahan presidensiil sebagai wujud dari konsep separation of power dengan legislatif (Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 17 ayat (2)).
- Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, tetapi dipilih langsung oleh masyarakat melalui partai politik di dalam pemilihan umum (Pasal 6A ayat (1) dan (2))
- Kekuasaan Kehakiman tidak lagi hanya dilaksanakan oleh MA, tetapi juga oleh MK sebagai lembaga penjaga kemurnian konstitusi (the quardian of the constitution atau waakhond van de grondwet), sehingga kewenangan MK ini adalah untuk menyelesaikan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional. MK berwenang untuk memeriksa Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, Memutuskan pembubaran partai politik, Sengketa kewenangan lembaga negara, Perselisihan tentang hasil pemilihan umum dan kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan adanya pelanggaran oleh Presiden dan / atau wakil Presiden (Pasal 24 ayat (2) jo. Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2))
- Dibentuk lembaga Komisi Yidusial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim (Pasal 24B ayat (1)).
2. Pemerintahan Daerah
Amandemen
UUD 1945 juga telah melahirkan konsep otonomi daerah melalui pelaksanaan asas
desentralisasi kekuasaan negara kepada daerah (Pasal 18 ayat (2) UUD 1945). Terdapat
beberapa pengertian tentang otonomi daerah, yaitu [23]
:
a. Kondisi atau ciri unik tidak dikontrol
oleh pihak lain ataupun kekuatan lain;
b.
Pemerintahan sendiri (self government), yaitu hak untuk
memerintah atau menentukan nasib sendiri (the
rights of self government; self determination);
c.
Pemerintahan sendiri yang
dihormati, diakui dan dijamin tidak adanya control oleh pihak lain terhadap
ungsi daerah (local internal affairs)
atau terhadap minoritas suatu daerah;
d.
Pemerintahan daerah mempunyai
pendapatan yang cukup untuk menentukan nasib sendiri, memenuhi kesejahteraan
hidup maupun mwncapai tujuan hidup secara adil (self determination, self sufficiency, self relience);
e. Pemerintahan otonomi mempunyai supremasi
atau dominasi kekuasaan atau hukum yang dilaksanakan sepenuhnya oleh pemegang
kekuasaan.
Pengertian
desentralisasi dalam beberapa literatur terdapat beberapa bentuk, di antaranya [24]
:
- Dekonsentrasi, yaitu redistribusi tanggung jawab administratif dalam khirarki pemerintah pusat melalui pengalihan beban kerja dari pemerintah pusat ke pejabatnya sendiri di daerah.
- Delegasi pada organisasi parastatal, yaitu pelimpahan pembuatan keputusan dan manajemen untuk kepentingan khusus di bawah tanggung jawab pemerintah pusat.
- Devolusi, yaitu kemampuan unit pemerintah daerah yang mandiri, independen dan otonom, dimana pemerintah pusat melepaskan fungsi-fungsi tertentu serta pengawasannya.
- Transfer of function, yaitu sebagai kelanjutan dari devolusi, pemerintah memberikan dan mentransfer fungsi dan tugas-tugasnya kepada masyarakat dan lembaga non pemerintah lainnya.
Berdasarkan
inilah, maka kebijakan relasi kekuasaan antara pusat dan daerah yang berupa
otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia adalah termasuk desentralisasi
dalam bentuk devolusi.
Untuk
melaksanakan konsep otonomi daerah tersebut maka negara kesatuan RI dibagi atas
beberapa daerah otonom, yaitu daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten dan Kota. Di
dalam daerah otonom tersebut mempunyai sistem pemerintahan, yang hanya terdiri
dari badan eksekutif (Kepala Daerah) dan badan legislatif (DPRD). Sedangkan
badan yudikatif tetap tersentral menjadi wewenang pemerintah pusat. Hal ini
sesuai dengan ketentuan di dalam Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), bahwa daerah hanya berwenang atas
beberapa urusan pemerintahan yang bukan termasuk urusan pemerintahan pusat. Di
antara urusan yang menjadi wewenang pemerintah pusat adalah Politik luar negeri,
Pertahanan, Keamanan,Yustisi, Moneter dan fiskal nasional, dan Agama.
Berdasarkan
ketentuan di atas, terdapat enam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
pemerintah pusat, termasuk di antaranya urusan yustisi atau peradilan. Sehingga
pemerintahan daerah hanya melaksanakan urusan pemerintahan di bidang eksekutif
dan legislatif di daerah.
Menurut
ketentuan UU Pemda, pemerintah provinsi tidak hanya melaksanakan asas
desentralisasi politik atau devolusi, akan tetapi juga melaksakan asas
dekonsentrasi. Sedangkan pemerintah kabupaten atau kota hanya melaksankan asas
desentralisasi.
Salah
satu perubahan yang sangat mendasar di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah ini adalah adanya pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah yang tidak lagi dipilih melalui DPRD, akan tetapi dipilih secara
langsung oleh masyarakat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah (Pilkada). Perubahan ini didasarkan pada rumusan Pasal 18 ayat (4)
Amandemen kedua UUD 1945.
E.
Sistem Ekonomi Indonesia
Terdapat dua sistem ekonomi
dunia, yaitu sistem ekonomi liberalisme dan sistem ekonomi sosialisme. Sistem
ekonomi liberalisme ini mencapai puncak keemasannya di Eropa Barat dalam tahun
1815-1914 dengan eksponennya Adam Smith di dalam bukunya yang berjudul The Wealth of Nations (1776), yang
menyatakan bahwa mekanisme pasar bebas akan menjadi jawaban untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya kesejahteraan masyarakat akan tercapai jika tiap indvidu
dapat menikmati kebebasan untuk mengemabngkan usahanya. Kemudian diteruskan oleh David Ricardo dalam bukunya Principles of Political Economy and Taxation
(1817) dengan teori keunggulan komperatifnya (comperative advantage).[25]
Sistem ekonomi sosialisme yang berkembang pada abad
ke-20 adalah sebagai counter dari system
ekonomi liberalisme yang telah mengakibatkan gap atau disparitas ekonomi yang sangat parah di antara masyarakat
Eropa Barat. Salah satu eksponennya adalah Karl Marx dengan manifesto
komunismenya. Konsep ekonomi komunisme Karl Marx tersebut kemudian berhasil
diterapkan di dalam tataran praktek oleh Lenin pada tahun 1917 – 1924 M di Uni
Soviet. Sistem ekonomi sosialis komunisme ini menghendaki penghapusan hak milik
pribadi atas alat-alat produksi dan terciptanya masyarakat tanpa kelas serta
adanya campur tangan Negara secara penuh di dalam setiap sistem ekonomi.
Sedangkan sistem ekonomi yang diterapkan di Indonesia
pasca Amandemen UUD 1945 adalah sebagaimana terdapat di dalam rumusan Pasal 33 ayat
(1) sampai ayat (5) UUD 1945, yaitu :
(1)
Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2)
Cabang-cabang produksi yang
penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
Negara.
(3)
Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4)
Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip persamaan,
efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan Pasal ini diatur dengan undang-undang.
Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945 ini merupakan
hasil dari Amandemen keempat. Sebelum Amandemen ini, sistem ekonomi Indonesia
lebih mengarah pada sistem ekonomi sosialisme. Adanya keterlibatan negara secara
penuh atas segala cabang-cabang produksi dan penguasaan atas semua sumber daya
alam merupakan ciri dari penerapan sistem ekonomi sosialisme. Akan tetapi
setelah melalui Amandemen keempat, sistem ekonomi Indonesia telah mengalami
perubahan paradigma yang sangat mendasar, yaitu melalui penambahan ayat (4) dan
ayat (5) di dalam Pasal 33 UUD 1945, Negara Indonesia menghendaki atas
penerapan sistem ekonomi Neo-Sosialisme, artinya melalui kedua ayat tersebut negara
memberikan ruang bagi terwujudnya penerapan sistem ekonomi yang didasarkan pada
mekanisme pasar. Akan tetapi di sini negara masih mempunyai kekuasaan untuk
mengatur melalui berbagai bentuk peraturan perundang-undangan.
Dalam rumusan ayat (4) Pasal 33 Amandemen keempat UUD
1945 tersebut, sangat jelas bagaimana politik hukumnya, yaitu bahwa negara Indonesia
juga telah mencita-citakan lahirnya negara demokrasi modern melalui konsep good envoirenment government, good corporate
government dan civil society.
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa politik hukum dalam batang tubuh UUD 1945 terdapat macam, yaitu :
1. Bentuk Negara Indonesia adalah
Negara Kesatuan
2.
Bentuk Pemerintahan Indonesia
adalah berbentuk Republik dengan sistem presidensiil
3.
Negara Indonesia adalah Negara Hukum
4.
Struktur Negara Indonesia
terdiri dari Pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Adapun kelembagaan
pemerintahan pusat terdiri dari lembaga legislative, eksekutif dan yudikatif sesuai
dengan teori separation of power dari
Trias Politika dan juga prinsip check and
balances antar lembaga Negara. Sedangkan struktur lembaga daerah hanya
terdiri dari lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dengan penyelenggaraan
pemerintahan berdasarkan konsep otonomi dalam bentuk desentralisasi politik
(devolusi).
5.
Sistem Ekonomi Indonesia
adalah sistem ekonomi Neo-Sosialisme, yang menghendaki berlakunya mekanisme
pasar bebas. Tetapi di sisi lain, Negara masih tetap berkuasa untuk mengatur
melalui beberapa produk peraturan perundang-undangan.
6.
Negara Indonesia mencita-citakan
konsep negara demokrasi modern (good
environment government, civil society dan good corporate government), yaitu sebagaimana rumusan di dalam ayat
(4) Pasal 33 Amandemen keempat UUD 1945.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rosyid
Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi
dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bandung :
PT. Citra Aditya Bakti
Adji Samerkto, 2005, Kapitalisme, Modernisme & Kerusakan
Lingkungan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Edi Santoso dan et. al., 2003, Otonomi Daerah : Cappacity Building da
Penguatan Demokrasi Local, Semarang : Puskodak Undip
Fakhurohman, Dian Aminudin,
dan Sarajuddin, 2004, Memahami Keberadan
Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti
Irfan Fachruddin, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Bandung
: PT. Alumni
Ismail Suny, 1982, Mencari Keadilan,
Jakarta : Ghalia Indonesia
K.C. Wheare,
Konstitusi-Konstitusi Modern, Pustaka Eureka Surabaya, 2003
Khudzaifah Dimyati, 2004, Teorisasi Hukum : Stusi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di
Indonesia 1945 – 1990, Surakarta : Muhammadiyah University Press
Moh. Kusnardi dan Harmaily
Ibrahim,1988, Hukum Tata Negara
Indonesia, Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia dan CV. Sinar Bakti
Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta : PT Pustaka LP3ES
Muhammad Yamin, 1982, Proklamasi dan Konstitusi Indonesia, Jakarta
: Ghalia Indonesia
Notohamidjojo, 1970, Makna Negara
hukum, Jakarta : Badan Penerbit Kristen
Sri Soemantri, 1987, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung : Alumni,
Disertasi.
Sunaryati Hartono, 1976, Apakah The
Rule of Law, Bandung : PT. Alumni
Titik Triwulan Tutik, 2006,
Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : Prestasi Pustaka
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi rakyat di Indonesia,
Surabaya : PT. Bina Ilmu
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945
Indonesia, Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
[1] Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum : Stusi tentang Perkembangan
Pemikiran Hukum di Indonesia 1945 – 1990, (Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2004), hal. 153
[2] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta :
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV.
Sinar Bakti, 1988), hal. 86 - 100
[3] Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung
: Alumni Bandung), 1987, hal. 51
[4] Teuku Mohammad Radhie, Pembaruan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan
Nasional, dalam majalah Prisma No. 6
Tahun II Desember 1973, hal 3.
[6] Abdul Rosyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia, (Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti,, 2006), hal. 105
[10] Titik Triwulan Tutik, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia,
(Jakarta : Prestasi Pustaka, 2006), hal.
91
[11] Ibid., hal. 91-92
[12] Irfan Fachruddin, Pengawasan
Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, (Bandung : PT. Alumni, 2004), hal. 113 - 114
[14] Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1987), hal. 72
[16] Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Indonesia,
(Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hal. 72
[21] Fakhurohman, Dian Aminudin, dan Sarajuddin, Memahami Keberadan Mahkamah Konstitusi di
Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 40-41
[22] Abdul Rosyid
Thalib, op. cit., hal. 3
[23] Edi Santoso dan et. al., Otonomi
Daerah : Cappacity Building da Penguatan Demokrasi Local, (Semarang : Puskodak
Undip, 2003), hal. 104
[24] Ibid, hal. 134
[25] Adji Samerkto, Kapitalisme, Modernisme & Kerusakan Lingkungan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005, hal. v
0 komentar:
Posting Komentar