Cerita
Rakyat: Banta Berensyah
Cerita Rakyat Aceh Banta Berensyah: Banta Berensyah adalah
seorang anak laki-laki yatim dan miskin. Ia sangat rajin bekerja dan selalu
bersabar dalam menghadapi berbagai hinaan dari pamannya yang bernama Jakub.
Berkat kerja keras dan kesabarannya menerima hinaan tersebut, ia berhasil
menikah dengan seorang putri raja yang cantik jelita dan dinobatkan menjadi
raja. Bagaimana kisahnya? Ikuti cerita Banta Berensyah berikut ini!
* * *
Alkisah, di sebuah dusun terpencil di daerah Nanggro Aceh
Darussalam, hiduplah seorang janda bersama seorang anak laki-lakinya yang
bernama Banta Berensyah. Banta Berensyah seorang anak yang rajin dan mahir
bermain suling. Kedua ibu dan anak itu tinggal di sebuah gubuk bambu yang
beratapkan ilalang dan beralaskan dedaunan kering dengan kondisi hampir roboh.
Kala hujan turun, air dengan leluasa masuk ke dalamnya. Bangunan gubuk itu
benar-benar tidak layak huni lagi. Namun apa hendak dibuat, jangankan biaya
untuk memperbaiki gubuk itu, untuk makan sehari-hari pun mereka kesulitan.
Untuk bertahan hidup, ibu dan anak itu menampi sekam di
sebuah kincir padi milik saudaranya yang bernama Jakub. Jakub adalah saudagar
kaya di dusun itu. Namun, ia terkenal sangat kikir, loba, dan tamak. Segala
perbuatannya selalu diperhitungkan untuk mendapatkan keuntungan sendiri.
Terkadang ia hanya mengupahi ibu Banta Berensyah dengan segenggam atau dua
genggam beras. Beras itu hanya cukup dimakan sehari oleh janda itu bersama
anaknya.
Pada suatu hari, janda itu berangkat sendirian ke tempat
kincir padi tanpa ditemani Banta Berensyah, karena sedang sakit. Betapa
kecewanya ia saat tiba di tempat itu. Tak seorang pun yang menumbuk padi.
Dengan begitu, tentu ia tidak dapat menampi sekam dan memperoleh upah beras.
Dengan perasaan kecewa dan sedih, perempuan paruh baya itu kembali ke gubuknya.
Setibanya di gubuk, ia langsung menghampiri anak semata wayangnya yang sedang
terbaring lemas. Wajah anak itu tampak pucat dan tubuhnya menggigil, karena
sejak pagi perutnya belum terisi sedikit pun makanan.
“Ibu…! Banta lapar,”
rengek Banta Berensyah.
Janda itu hanya terdiam sambil menatap lembut anaknya.
Sebenarnya, hati kecilnya teriris-iris mendengar rengekan putranya itu. Namun,
ia tidak bisa berbuat apa-apa, karena tidak ada sama sekali makanan yang
tersisa. Hanya ada segelas air putih yang berada di samping anaknya. Dengan
perlahan, ia meraih gelas itu dan mengulurkannya ke mulut Banta Berensyah.
Seteguk demi seteguk Banta Berensyah meminum air dari gelas itu sebagai
pengganti makanan untuk menghilangkan rasa laparnya. Setelah meminum air itu,
Banta merasa tubuhnya sedikit mendapat tambahan tenaga. Dengan penuh kasih
sayang, ia menatap wajah ibunya. Lalu, perlahan-lahan ia bangkit dari tidurnya
seraya mengusap air mata bening yang keluar dari kelopak mata ibunya.
“Kenapa ibu
menangis?” tanya Banta dengan suara pelan.
Mulut perempuan paruh baya itu belum bisa berucap apa-apa.
Dengan mata berkaca-kaca, ia hanya menghela nafas panjang. Banta pun menatap
lebih dalam ke arah mata ibunya. Sebenarnya, ia mengerti alasan kenapa ibunya
menangis.
“Bu! Banta tahu
mengapa Ibu meneteskan air mata. Ibu menangis karena sedih tidak memperoleh
upah hari ini,” ungkap Banta.
“Sudahlah, Bu! Banta
tahu, Ibu sudah berusaha keras mencari nafkah agar kita bisa makan. Barangkali
nasib baik belum berpihak kepada kita,” bujuknya.
Mendengar ucapan Banta Berensyah, perempuan paruh baya itu
tersentak. Ia tidak pernah mengira sebelumnya jika anak semata wayangnya, yang
selama ini dianggapnya masih kecil itu, ternyata pikirannya sudah cukup dewasa.
Dengan perasaan bahagia, ia merangkul tubuh putranyasambil meneteskan air mata.
Perasaan bahagia itu seolah-olah telah menghapus segala kepedihan dan kelelahan
batin yang selama ini membebani hidupnya.
“Banta, Anakku! Ibu
bangga sekali mempunyai anak sepertimu. Ibu sangat sayang kepadamu, Anakku,”
ucap Ibu Banta dengan perasaan haru.
Kasih sayang dan perhatian ibunya itu benar-benar memberi
semangat baru kepada Banta Berensyah. Tubuhnya yang lemas, tiba-tiba kembali
bertenaga. Ia kemudian menatap wajah ibunya yang tampak pucat. Ia sadar bahwa
saat ini ibunya pasti sedang lapar. Oleh karena itu, ia meminta izin kepada
ibunya hendak pergi ke rumah pamannya, Jakub, untuk meminta beras. Namun,
ibunya mencegahnya, karena ia telah memahami perangai saudaranya yang kikir
itu.
“Jangan, Anakku!
Bukankah kamu tahu sendiri kalau pamanmu itu sangat perhitungan. Ia tentu tidak
akan memberimu beras sebelum kamu bekerja,” ujar Ibu Banta.
“Banta mengerti, Bu!
Tapi, apa salahnya jika kita mencobanya dulu. Barangkali paman akan merasa iba
melihat keadaan kita,” kata Banta Berensyah.
Berkali-kali ibunya mencegahnya, namun Banta Berensyah tetap
bersikeras ingin pergi ke rumah pamannya. Akhirnya, perempuan yang telah
melahirkannya itu pun memberi izin. Maka berangkatlah Banta Berensyah ke rumah
pamannya. Saat ia masuk ke pekarangan rumah, tiba-tiba terdengar suara keras
membentaknya. Suara itu tak lain adalah suara pamannya.
“Hai, anak orang
miskin! Jangan mengemis di sini!” hardik saudagar kaya itu.
“Paman, kasihanilah
kami! Berikanlah kami segenggam beras, kami lapar!” iba Banta Berensyah.
“Ah, persetan dengan
keadaanmu itu. Kalian lapar atau mati sekalian pun, aku tidak perduli!”
saudagar itu kembali menghardiknya dengan kata-kata yang lebih kasar lagi.
Betapa kecewa dan sakitnya hati Banta Berensyah. Bukannya
beras yang diperoleh dari pamannya, melainkan cacian dan makian. Ia pun pulang
ke rumahnya dengan perasaan sedih dan kesal. Tak terasa, air matanya menetes
membasahi kedua pipinya.
Dalam perjalanan pulang, Banta Berensyah mendengar kabar
dari seorang warga bahwa raja di sebuah negeri yang letaknya tidak berapa jauh
dari dusunnya akan mengadakan sayembara. Raja negeri itu mempunyai seorang
putri yang cantik jelita nan rupawan. Ia bagaikan bidadari yang menghimpun
semua pesona lahir dan batin. Kulitnya sangat halus, putih, dan bersih. Saking
putihnya, kulit putri itu seolah-olah tembus pandang. Jika ia menelan makanan,
seolah-olah makanan itu tampak lewat ditenggorokannya. Itulah sebabnya ia
diberi nama Putri Terus Mata. Setiap pemuda yang melihat kecantikannya pasti
akan tergelitik hasratnya untuk mempersuntingnya. Sudah banyak pangeran yang
datang meminangnya, namun belum satu pun pinangan yang diterima. Putri Terus
Mata akan menerima lamaran bagi siapa saja yang sanggup mencarikannya pakaian
yang terbuat dari emas dan suasa.
Mendengar kabar itu, Banta Berensyah timbul keinginannya
untuk mengandu untung. Ia berharap dengan menikah dengan sang Putri, hidupnya
akan menjadi lebih baik. Siapa tahu ia bernasib baik, pikirnya. Ia pun bergegas
pulang ke gubuknya untuk menemui ibunya. Setibanya di gubuk, ia langsung duduk
di dekat ibunya. Sambil mendekatkan wajahnya yang sedikit pucat karena lapar,
Banta Berensyah menyampaikan perihal hasratnya mengikuti sayembara tersebut
kepada ibunya. Ia berusaha membujuk ibunya agar keinginannya dikabulkan.
“Bu! Banta sangat
sayang dan ingin terus hidup di samping ibu. Ibu telah berusaha memberikan yang
terbaik untuk Banta. Kini Banta hampir beranjak dewasa. Saatnya Banta harus
bekerja keras memberikan yang terbaik untuk Ibu. Jika Ibu merestui niat tulus
ini, izinkanlah Banta merantau untuk mengubah nasib hidup kita!” pinta Banta
Berensyah.
Perempuan paruh baya itu tak mampu lagi menyembunyikan
kekagumannya kepada anak semata wayangnya itu. Ia pun memeluk erat Banta dengan
penuh kasih sayang.
“Banta, Anakku! Kamu
adalah anak yang berbakti kepada orangtua. Jika itu sudah menjadi tekadmu, Ibu
mengizinkanmu walaupun dengan berat hati harus berpisah denganmu,” kata
perempuan paruh baya itu.
“Tapi, bagaimana kamu
bisa merantau ke negeri lain, Anakku? Apa bekalmu di perjalanan nanti?
Jangankan untuk ongkos kapal dan bekal, untuk makan sehari-hari pun kita tidak
punya,” tambahnya.
“Ibu tidak perlu
memikirkan masalah itu. Cukup doa dan restu Ibu menyertai Banta,” kata Banta
Berensyah.
Setelah mendapat restu dari ibunya, Banta Berensyah pun
pergi ke sebuah tempat yang sepi untuk memohon petunjuk kepada Tuhan Yang
Mahakuasa. Setelah semalam suntuk berdoa dengan penuh khusyuk, akhirnya ia pun
mendapat petunjuk agar membawa sehelai daun talas dan suling miliknya ke
perantauan. Daun talas itu akan ia gunakan untuk mengarungi laut luas menuju ke
tempat yang akan ditujunya. Sedangkan suling itu akan ia gunakan untuk
menghibur para tukang tenun untuk membayar biaya kain emas dan suasa yang dia
perlukan.
Keesokan harinya, usai berpamitan kepada ibunya, Banta
Berensyah pun pergi ke rumah pamannya, Jakub. Ia bermaksud meminta tumpangan di
kapal pamannya yang akan berlayar ke negeri lain. Setibanya di sana, ia kembali
dibentak oleh pamannya.
“Ada apa lagi kamu
kemari, hai anak malas!” seru sang Paman.
“Paman! Bolehkah
Ananda ikut berlayar sampai ke tengah laut?” pinta Banta Berensyah.
Jakub tersentak mendengar permintaan aneh dari Banta
Berensyah. Ia berpikir bahwa kemanakannya itu akan bunuh diri di tengah laut.
Dengan senang hati, ia pun mengizinkannya. Ia merasa hidupnya akan aman jika
anak itu telah mati, karena tidak akan lagi datang meminta-minta kepadanya.
Akhirnya, Banta Berensyah pun ikut berlayar bersama pamannya. Begitu kapal yang
mereka tumpangi tiba di tengah-tengah samudra, Banta meminta kepada pamannya
agar menurunkannya dari kapal.
“Paman! Perjalanan
Nanda bersama Paman cukup sampai di sini. Tolong turunkan Nanda dari kapal
ini!” pinta Banta Betensyah.
Saudagar kaya itu pun segera memerintahkan anak buahnya
untuk menurunkan Banta ke laut. Namun sebelum diturunkan, Banta mengeluarkan
lipatan daun talas yang diselempitkan di balik pakaiannya. Kemudian ia membuka
lipatan daun talas itu seraya duduk bersila di atasnya. Melihat kelakuan Banta
itu, Jakub menertawainya.
“Ha… ha… ha…! Dasar
anak bodoh!” hardik saudagar kaya itu.
“Pengawal! Turunkan
anak ini dari kapal! Biarkan saja dia mati dimakan ikan besar!” serunya.
Namun, betapa terkejutnya saudagar kaya itu dan para anak
buahnya setelah menurunkan Banta Berensyah ke laut. Ternyata, sehelai daun
talas itu mampu menahan tubuh Banta Berensyah di atas air. Dengan bantuan
angin, daun talas itu membawa Banta menuju ke arah barat, sedangkan pamannya
berlayar menuju ke arah utara.
Setelah berhari-hari terombang-ambing di atas daun talas
dihempas gelombang samudra, Banta Berensyah tiba di sebuah pulau. Saat pertama
kali menginjakkan kaki di pulau itu, ia terkagum-kagum menyaksikan pemandangan
yang sangat indah dan memesona. Hampir di setiap halaman rumah penduduk
terbentang kain tenunan dengan berbagai motif dan warna sedang dijemur.
Rupanya, hampir seluruh penduduk di pulau itu adalah tukang tenun.
Banta pun mampir ke salah satu rumah penduduk untuk
menanyakan kain emas dan suasa yang sedang dicarinya. Namun, penghuni rumah itu
tidak memiliki jenis kain tersebut. Ia pun pindah ke rumah tukang tenun di
sebelahnya, dan ternyata si pemilik rumah itu juga tidak memilikinya.
Berhari-hari ia berkeliling kampung dan memasuki rumah penduduk satu persatu,
namun kain yang dicarinya belum juga ia temukan. Tinggal satu rumah lagi yang
belum ia masuki, yaitu rumah kepala kampung yang juga tukang tenun.
“Tok… Tok… Tok.. !
Permisi, Tuan!” seru Banta Berensyah setelah mengetuk pintu rumah kepala
kampung itu.
Beberapa saat kemudian, seorang laki-laki paruh baya membuka
pintu dan mempersilahkannya masuk ke dalam rumah.
“Ada yang bisa
kubantu, Anak Muda?” tanya kampung itu bertanya.
Setelah memperkenalkan diri dan menceritakan asal-usulnya,
Banta pun menyampaikan maksud kedatangannya.
“Maaf, Tuan!
Kedatangan saya kemari ingin mencari kain tenun yang terbuat dari emas dan
suasa. Jika Tuan memilikinya, bolehkah saya membelinya?” pinta Banta Berensyah.
Kepala kampung itu tersentak kaget mendengar permintaan
Banta, apalagi setelah melihat penampilan Banta yang sangat sederhana itu.
“Hai, Banta! Dengan
apa kamu bisa membayar kain emas dan suasa itu? Apakah kamu mempunyai uang yang
cukup untuk membayarnya?”
“Maaf, Tuan! Saya
memang tidak mampu membayarnya dengan uang. Tapi, jika Tuan berkenan, bolehkah
saya membayarnya dengan lagu?” pinta Banta Berensyah seraya mengeluarkan
sulingnya.
Melihat keteguhan hati Banta Berensyah hendak memiliki kain
tenun tersebut, kepala kampung itu kembali bertanya kepadanya.
“Banta! Kalau boleh
saya tahu, kenapa kamu sangat menginginkan kain itu?”
Banta pun menceritakan alasannya sehingga ia harus berjuang
untuk mendapatkan kain tersebut. Karena iba mendengar cerita Banta, akhirnya
kepala kampung itu memenuhi permintaannya. Dengan keahliannya, Banta pun
memainkan sulingnya dengan lagu-lagu yang merdu. Kepala kampung itu benar-benar
terbuai menikmati senandung lagu yang dibawakan Banta. Setelah puas
menikmatinya, ia pun memberikan kain emas dan suasa miliknya kepada Banta.
“Kamu sangat mahir
bermain suling, Banta! Kamu pantas mendapatkan kain emas dan suasa ini,” ujar
kepala kampung itu.
“Terima kasih, Tuan!
Banta sangat berhutang budi kepada Tuan. Banta akan selalu mengingat semua
kebaikan hati Tuan,” kata Banta.
Setelah mendapatkan kain emas dan suasa tersebut, Banta pun
meninggalkan pulau itu. Ia berlayar mengarungi lautan luas menuju ke kampung
halamannya dengan menggunakan daun talas saktinya. Hati anak muda itu sangat
gembira. Ia tidak sabar lagi ingin menyampaikan berita gembira itu kepada ibunya
dan segera mempersembahkan kain emas dan suasa itu kepada Putri Terus Mata.
Namun, nasib malang menimpa Banta. Ketika sampai di tengah
laut, ia bertemu dan ikut dengan kapal Jakub yang baru saja pulang berlayar
dari negeri lain. Saat ia berada di atas kapal itu, kain emas dan suasa yang
diperolehnya dengan susah payah dirampas oleh Jakub. Setelah kainnya dirampas,
ia dibuang ke laut. Dengan perasaan bangga, Jakub membawa pulang kain tersebut
untuk mempersunting Putri Terus Mata.
Sementara itu, Banta yang hanyut terbawa arus gelombang laut
terdampar di sebuah pantai dan ditemukan oleh sepasang suami-istri yang sedang
mencari kerang. Sepasang suami-istri itu pun membawanya pulang dan
mengangkatnya sebagai anak. Setelah beberapa lama tinggal bersama kedua orang
tua angkatnya tersebut, Banta pun memohon diri untuk kembali ke kampung
halamannya menemui ibunya dengan menggunakan daun talas saktinya. Setiba di
gubuknya, ia pun disambut oleh ibunya dengan perasaan suka-cita. Kemudian,
Banta pun menceritakan semua kejadian yang telah dialaminya.
“Maafkan Banta, Bu!
Sebenarnya Banta telah berhasil mendapatkan kain emas dan suasa itu, tetapi
Paman Jakub merampasnya,” Banta bercerita kepada ibunya dengan perasaan kecewa.
“Sudahlah, Anakku!
Ibu mengerti perasaanmu. Barangkali belum nasibmu mempersunting putri raja,”
ujar Ibunya.
“Tapi, Bu! Banta
harus mendapatkan kembali kain emas dan suasa itu dari Paman. Kain itu milik
Banta,” kata Banta dengan tekad keras.
“Semuanya sudah
terlambat, Anakku!” sahut ibunya.
“Apa maksud Ibu
berkata begitu?” tanya Banta penasaran.
“Ketahuilah, Anakku!
Pamanmu memang sungguh beruntung. Saat ini, pesta perkawinannya dengan putri
raja sedang dilangsungkan di istana,” ungkap ibunya.
Tanpa berpikir panjang, Banta segera berpamitan kepada
ibunya lalu bergegas menuju ke tempat pesta itu dilaksanakan. Namun, setibanya
di kerumunan pesta yang berlangsung meriah itu, Banta tidak dapat berbuat
apa-apa. Ia tidak mempunyai bukti untuk menunjukkan kepada raja dan sang Putri
bahwa kain emas dan suasa yang dipersembahkan Jakub itu adalah miliknya.
Sejenak, ia menengadahkan kedua tangannya berdoa meminta pertolongan kepada
Tuhan Yang Mahakuasa. Begitu ia selesai berdoa, tiba-tiba datanglah seekor
burung elang terbang berputar-putar di atas keramaian pesta sambil berbunyi.
“Klik.. klik… klik…
kain emas dan suasa itu milik Banta Berensyah…!!! Klik… klik.. klik… kain emas
dan suasa itu milik Banta Berensyah…!!!” demikian bunyi elang itu
berulang-ulang.
Mendengar bunyi elang itu, seisi istana menjadi gempar.
Suasana pesta yang meriah itu seketika menjadi hening. Bunyi elang itu pun
semakin jelas terdengar. Akhirnya, Raja dan Putri Terus Mata menyadari bahwa
Jakub adalah orang serakah yang telah merampas milik orang lain. Sementara itu
Jakub yang sedang di pelaminan mulai gelisah dan wajahnya pucat. Karena tidak
tahan lagi menahan rasa malu dan takut mendapat hukuman dari Raja, Jakub
melarikan diri melalui jendela. Namun, saat akan meloncat, kakinya tersandung
di jendela sehingga ia pun jatuh tersungkur ke tanah hingga tewas seketika.
Setelah peristiwa itu, Banta Berensyah pun dinikahkan dengan
Putri Terus Mata. Pesta pernikahan mereka dilangsungkan selama tujuh hari tujuh
malam dengan sangat meriah. Tidak berapa lama setelah mereka menikah, Raja yang
merasa dirinya sudah tua menyerahkan jabatannya kepada Banta Berensyah. Banta
Berensyah pun mengajak ibunya untuk tinggal bersamanya di istana. Akhirnya,
mereka pun hidup berbahagia bersama seluruh keluarga istana.
* * *
Demikian cerita dongeng Banta Berensyah dari daerah Nanggroe
Aceh Darussalam, Indonesia. Sedikitnya ada dua pelajaran penting yang dapat
dipetik dari kisah di atas. Pertama, orang yang senantiasa berusaha dan bekerja
keras, pada akhirnya akan memperoleh keberhasilan. Sebagaimana ditunjukkan oleh
perilaku Banta Berensyah, berkat kerja keras dan kesabarannya, ia berhasil
mempersunting putri raja dan menjadi seorang raja. Dikatakan dalam tunjuk ajar
Melayu:
wahai ananda
cahaya mata,
rajin dan tekun
dalam bekerja
penat dan letih
usah dikira
supaya kelak
hidupmu sejahtera
Pelajaran kedua yang dapat dipetik dari cerita di atas
adalah bahwa orang kaya yang kikir dan serakah seperti Jakub, pada akhirnya
akan mendapat balasan yang setimpal. Ia tewas akibat keserakahannya. Dikatakan
dalam tunjuk ajar Melayu:
apa tanda orang
tamak,
karena harta
marwah tercampak
0 komentar:
Posting Komentar